Oleh : Muhammad Islahul Umam
Direktur ASWAJA CENTER PC GP ANSOR Kudus
Radikalisme agama merupakan fenomena global yang terjadi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara lain di berbagai belahan dunia, bahkan di negara maju sekalipun. Tak hanya di kalangan kaum muslimin, radikalisme juga menjangkiti pemeluk agama lain. Serangan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang melibatkan sebagian Bikhu, menjadi salah satu bukti atas hal itu. Begitu juga sikap fanatik sebagian dari umat Hindu di India yang berujung pada pembakaran masjid dan meninggalnya beberapa orang Muslim di sana. Reformasi yang dilakukan oleh kelompok Protestan sehingga muncul gereja-gereja Protestan, menunjukkan adanya radikalisme dalam agama Kristen.
Di Indonesia, radikalisme –baik dalam pemikiran maupun aksi- merupakan ancaman serius yang bisa mengganggu keutuhan NKRI. Kemajuan teknologi, maraknya penggunaan medsos, murahnya harga gadget, ditambah dengan semangat beragama yang membara tanpa dibarengi ilmu agama yang mumpuni menyebabkan seseorang mudah menghujat pihak yang tidak sependapat, memaki, melakukan provokasi, hate speech dan sejenisnya di dunia maya. Ini merupakan bibit aksi radikalisme. Saat ini kita bisa melihat, para ulama senior yang mengkampenyakan pemikiran moderat, begitu banyak orang yang menghujatnya karena berbeda pendapat.
Pemicu utama radikalisme agama adalah pemahaman yang sempit terhadap nash atau dalil agama. Sempitnya pemahaman timbul karena dangkalnya ilmu atau karena fanatisme kelompok. Pemahaman yang sempit soal jihad dan mati syahid misalnya, membuat beberapa orang berani melakukan tindakan brutal kepada pihak yang dianggap lawan, tanpa mempertimbangkan timbulnya stigma negatif yang harus ditanggung umat Islam secara luas akibat tindakan tersebut. Ketika serangan nyata tidak memungkinkan, mereka memilih bom bunuh diri sebagai gantinya. Orang-orang tak bersalah dan bangunan tak berdosa ikut menjadi korban. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, termasuk tentang masalah jihad.
Para ulama telah menegaskan bahwa dalam kondisi aman, kewajiban berjihad dalam bentuk mengangkat senjata bisa diganti dengan memperkuat daerah perbatasan agar musuh tidak masuk ke dalam wilayah kita. Justru, yang lebih penting saat ini adalah berjihad dalam menghidupkan syariat dan sunah Nabi dengan cara yang santun, bukan dengan mengangkat senjata. Ini sangat penting, karena kepedulian terhadap agama saat ini mulai menurun dan mengkhawatirkan.
Radikalisme agama memiliki beberapa karakteristik, seperti:
- Menghakimi orang lain yang tidak sepaham
- Mengklaim paling paham terhadap kitab suci, sehingga merasa sebagai ‘wakil’ Allah dalam menghukum pihak lain.
- Tatharruf (memilih kekerasan untuk mencapai misi)
- Literalis (memahami nash secara harfiah)
Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) mengajarkan sikap moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh). Sejarah telah mencatat bahwa pemikiran ala Aswaja mampu menjadi jalan tengah dalam pergolakan pemikiran Islam masa lalu. Sebagai contoh, sikap Aswaja telah mencairkan dua kutub ekstrem pemikiran, yakni Qadariyah dan Jabariyah. Sikap Aswaja juga berhasil meredam keganasan pemikiran kaum Khawarij. Kitab-kitab Tarikh menyebutkan kisah dialog Ibnu Abbas Ra dengan kaum Khawarij yang hendak melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abu Thalib Ra. Dari dialog ini, sekitar 2.000 orang dari mereka memilih bertaubat dan tidak ikut memberontak.
Dalam konteks kekinian, pemikiran Aswaja diharapkan mampu menengahi perseteruan dua gerakan ekstrem kontemporer, yaitu ekstrem liberalis dan ekstrem puritan. Caranya, mari kita memperdalam ilmu agama dengan belajar kepada para ulama yang benar-benar ahli dan memiliki sanad keilmuan yang jelas. Kita juga harus sering mengadakan diskusi keagamaan agar wawasan kita menjadi lebih luas. Juga harus siap berdialog dengan kalangan yang berbeda pendapat, seperti telah dicontohkan oleh Ibnu Abbas Ra. Sikap moderat dan toleran harus terus kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat.
Saat ini radikalisme agama sulit untuk ditekan. Para penggiatnya dengan bebas menyebarkan ide, gagasan dan akidahnya di masjid-masjid, di media massa, di media online, hingga di tempat-tempat terpencil. Kita tentu tidak boleh tinggal diam. Harus ada upaya untuk menangkal radikalisme di semua lini. Semua pihak harus ikut berperan.
Pertama dimulai dari keluarga. Pendidikan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Orang tua harus memberi contoh yang baik kepada anggota keluarga. Hendaknya ada waktu khusus yang digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, agar sikap, watak dan tabiat anak bisa dikontrol. Sejak dini, anak harus dididik untuk beribadah secara baik dan benar, dan juga dididik tentang bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, agar kelak menjadi saleh individu dan saleh sosial.
Pendidikan di madrasah dan sekolah tak kalah penting. Pihak sekolah harus waspada terhadap paham radikal yang mungkin disisipkan dalam buku pelajaran maupun soal tes. Dalam mengajar, para guru juga dituntut untuk berperan aktif dengan cara menyisipkan pesan-pesan kerukunan saat menyampaikan materi.
Selanjutnya adalah pendidikan di Perguruan Tinggi atau Universitas. Perguruan tinggi menjadi salah satu tempat yang subur untuk menyemai berbagai paham keagaaman. Pada tahapan ini, mahasiswa akan mendengar dan mengetahui berbagai pemikiran secara luas. Pemikiran radikal biasanya akan dimulai dari diskusi-diskusi kecil dan tertutup. Jika mahasiswa memiliki ilmu agama yang kuat, maka tidak terlalu dikhawatirkan. Maka, forum-forum mahasiswa, lembaga dakwah kampus dan sebagainya harus benar-benar bersih dari paham radikal agar melahirkan para sarjana yang moderat.
Di masyarakat, para tokoh, para pemuka dan para muballigh harus mengkampanyekan kerukunan umat dalam ceramahnya. Budaya lokal yang merekatkan hubungan sesama warga harus dipelihara. Majlis ta’lim, majlis dzikir dan majlis-majlis yang mengajak kepada kebaikan juga harus dilestarikan. Pendeknya, dengan adanya kerja sama dari semua pihak, insyaallah radikalisme akan bisa diminimalisir dan ditangkal, sehingga seluruh umat akan hidup dalam kerukunan dan kenyamanan. Wallahu a’lam.
Direktur ASWAJA CENTER PC GP ANSOR Kudus
Radikalisme agama merupakan fenomena global yang terjadi bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara lain di berbagai belahan dunia, bahkan di negara maju sekalipun. Tak hanya di kalangan kaum muslimin, radikalisme juga menjangkiti pemeluk agama lain. Serangan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar yang melibatkan sebagian Bikhu, menjadi salah satu bukti atas hal itu. Begitu juga sikap fanatik sebagian dari umat Hindu di India yang berujung pada pembakaran masjid dan meninggalnya beberapa orang Muslim di sana. Reformasi yang dilakukan oleh kelompok Protestan sehingga muncul gereja-gereja Protestan, menunjukkan adanya radikalisme dalam agama Kristen.
Di Indonesia, radikalisme –baik dalam pemikiran maupun aksi- merupakan ancaman serius yang bisa mengganggu keutuhan NKRI. Kemajuan teknologi, maraknya penggunaan medsos, murahnya harga gadget, ditambah dengan semangat beragama yang membara tanpa dibarengi ilmu agama yang mumpuni menyebabkan seseorang mudah menghujat pihak yang tidak sependapat, memaki, melakukan provokasi, hate speech dan sejenisnya di dunia maya. Ini merupakan bibit aksi radikalisme. Saat ini kita bisa melihat, para ulama senior yang mengkampenyakan pemikiran moderat, begitu banyak orang yang menghujatnya karena berbeda pendapat.
Pemicu utama radikalisme agama adalah pemahaman yang sempit terhadap nash atau dalil agama. Sempitnya pemahaman timbul karena dangkalnya ilmu atau karena fanatisme kelompok. Pemahaman yang sempit soal jihad dan mati syahid misalnya, membuat beberapa orang berani melakukan tindakan brutal kepada pihak yang dianggap lawan, tanpa mempertimbangkan timbulnya stigma negatif yang harus ditanggung umat Islam secara luas akibat tindakan tersebut. Ketika serangan nyata tidak memungkinkan, mereka memilih bom bunuh diri sebagai gantinya. Orang-orang tak bersalah dan bangunan tak berdosa ikut menjadi korban. Hal ini tidak akan terjadi jika mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang agama, termasuk tentang masalah jihad.
Para ulama telah menegaskan bahwa dalam kondisi aman, kewajiban berjihad dalam bentuk mengangkat senjata bisa diganti dengan memperkuat daerah perbatasan agar musuh tidak masuk ke dalam wilayah kita. Justru, yang lebih penting saat ini adalah berjihad dalam menghidupkan syariat dan sunah Nabi dengan cara yang santun, bukan dengan mengangkat senjata. Ini sangat penting, karena kepedulian terhadap agama saat ini mulai menurun dan mengkhawatirkan.
Radikalisme agama memiliki beberapa karakteristik, seperti:
- Menghakimi orang lain yang tidak sepaham
- Mengklaim paling paham terhadap kitab suci, sehingga merasa sebagai ‘wakil’ Allah dalam menghukum pihak lain.
- Tatharruf (memilih kekerasan untuk mencapai misi)
- Literalis (memahami nash secara harfiah)
Aswaja (Ahlussunnah wal jamaah) mengajarkan sikap moderat (tawasuth) dan toleran (tasamuh). Sejarah telah mencatat bahwa pemikiran ala Aswaja mampu menjadi jalan tengah dalam pergolakan pemikiran Islam masa lalu. Sebagai contoh, sikap Aswaja telah mencairkan dua kutub ekstrem pemikiran, yakni Qadariyah dan Jabariyah. Sikap Aswaja juga berhasil meredam keganasan pemikiran kaum Khawarij. Kitab-kitab Tarikh menyebutkan kisah dialog Ibnu Abbas Ra dengan kaum Khawarij yang hendak melakukan pemberontakan kepada Ali bin Abu Thalib Ra. Dari dialog ini, sekitar 2.000 orang dari mereka memilih bertaubat dan tidak ikut memberontak.
Dalam konteks kekinian, pemikiran Aswaja diharapkan mampu menengahi perseteruan dua gerakan ekstrem kontemporer, yaitu ekstrem liberalis dan ekstrem puritan. Caranya, mari kita memperdalam ilmu agama dengan belajar kepada para ulama yang benar-benar ahli dan memiliki sanad keilmuan yang jelas. Kita juga harus sering mengadakan diskusi keagamaan agar wawasan kita menjadi lebih luas. Juga harus siap berdialog dengan kalangan yang berbeda pendapat, seperti telah dicontohkan oleh Ibnu Abbas Ra. Sikap moderat dan toleran harus terus kita kembangkan di tengah-tengah masyarakat.
Saat ini radikalisme agama sulit untuk ditekan. Para penggiatnya dengan bebas menyebarkan ide, gagasan dan akidahnya di masjid-masjid, di media massa, di media online, hingga di tempat-tempat terpencil. Kita tentu tidak boleh tinggal diam. Harus ada upaya untuk menangkal radikalisme di semua lini. Semua pihak harus ikut berperan.
Pertama dimulai dari keluarga. Pendidikan keluarga berperan penting dalam pembentukan karakter anak. Orang tua harus memberi contoh yang baik kepada anggota keluarga. Hendaknya ada waktu khusus yang digunakan untuk berkumpul bersama keluarga, agar sikap, watak dan tabiat anak bisa dikontrol. Sejak dini, anak harus dididik untuk beribadah secara baik dan benar, dan juga dididik tentang bagaimana cara berinteraksi dengan orang lain, agar kelak menjadi saleh individu dan saleh sosial.
Pendidikan di madrasah dan sekolah tak kalah penting. Pihak sekolah harus waspada terhadap paham radikal yang mungkin disisipkan dalam buku pelajaran maupun soal tes. Dalam mengajar, para guru juga dituntut untuk berperan aktif dengan cara menyisipkan pesan-pesan kerukunan saat menyampaikan materi.
Selanjutnya adalah pendidikan di Perguruan Tinggi atau Universitas. Perguruan tinggi menjadi salah satu tempat yang subur untuk menyemai berbagai paham keagaaman. Pada tahapan ini, mahasiswa akan mendengar dan mengetahui berbagai pemikiran secara luas. Pemikiran radikal biasanya akan dimulai dari diskusi-diskusi kecil dan tertutup. Jika mahasiswa memiliki ilmu agama yang kuat, maka tidak terlalu dikhawatirkan. Maka, forum-forum mahasiswa, lembaga dakwah kampus dan sebagainya harus benar-benar bersih dari paham radikal agar melahirkan para sarjana yang moderat.
Di masyarakat, para tokoh, para pemuka dan para muballigh harus mengkampanyekan kerukunan umat dalam ceramahnya. Budaya lokal yang merekatkan hubungan sesama warga harus dipelihara. Majlis ta’lim, majlis dzikir dan majlis-majlis yang mengajak kepada kebaikan juga harus dilestarikan. Pendeknya, dengan adanya kerja sama dari semua pihak, insyaallah radikalisme akan bisa diminimalisir dan ditangkal, sehingga seluruh umat akan hidup dalam kerukunan dan kenyamanan. Wallahu a’lam.
0 Komentar